Pengakuan Pariyem Linus Suryadi


       LINUS adalah Pariyem. Pariyem adalah Linus. Kedua nama itu bak dua sisi mata uang. Jika dibolak-balik tetap mencitrakan pribadi yang sama. Nama lengkap yang pertama adalah Linus Suryadi Agustinus, seorang penyair yang wafat pada Jumat 30 Juli lalu, dalam usia 48 tahun. Sedang nama lengkap yang kedua adalah Maria Magdalena Pariyem alias Iyem, tokoh rekaan sang penyair dalam prosa lirik Pengakuan Pariyem.Bagi sastrawan Sapardi Djoko Damono, Linus tak bisa dipisahkan dari prosa liriknya yang terbit pertama kali pada 1981 itu. Menurut Sapardi, inilah satu prosa lirik paling panjang yang pernah dihasilkan sesudah zaman kemerdekaan.
        Lewat tokoh Iyem pula, kita bisa melihat pribadi Linus. Keduanya mau tak mau menyandang agama Katolik di KTP, tapi Linus atau Pariyem sejatinya seorang Jawa yang hidup dalam kereligiusan kejawen. Yesus itu sebenarnya penganut kebatinan, kilah Linus semasa hidupnya, sebagaimana yang dikutip Ashadi Siregar dalam kata pengantar Pengakuan Pariyem. Keduanya juga pribadi yang lugu tipikal orang desa. Cah ndeso tenan (benar-benar anak desa), demikian komentar Umar Kayam. Tapi, di balik keluguan itu, kedua tokoh ini mampu mengekspresikan prinsip hidup yang ndakik-ndakik (rumit) bak priayi. Tak berlebihan jika Linus dan Pengakuan Pariyem pada masanya mendapat perhatian tak cuma dari kritikus sastra atau pembaca sastra, tapi juga dari antropolog dan sosiolog. Sebab, Pengakuan Pariyem adalah sebuah karya sastra yang mencoba mengungkapkan situasi kebudayaan yang ada di Jawa, yang berbenturan dengan kebudayaan lain. “Ini merupakan salah satu tonggak di dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern, ujar Sapardi, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
       Inilah puncak pencapaian seorang penyair yang tetap bertahan hidup di Yogyakarta. Sebuah lingkungan kultural yang menjadikannya seorang seniman yang hingga akhir hayatnya hanya menggunakan skuter ke mana-mana, dengan jaket jeans melilit tubuhnya dan tas yang sudah tampak kusam. Meski zaman sudah berubah, gaya hidup Linus tak jauh bergerak dari gaya hidup seniman Malioboro pada 1970an. Saat itu, ia memutuskan keluar dari kehidupan kampus untuk bergabung dengan komunitas Umbu Landu Parangi, yang kondang dengan sebutan presiden Malioboro, dalam Persada Studi Klub. Ia bersama calon penyair lainnya lebih suka bergelandangan di Malioboro dari pada suntuk dikampus mendengarkan kuliah. Sejak itu mulailah dia membuat puisi, tutur Ashadi Siregar, salah seorang sahabat Linus. Saat itu, pemandangan yang jamak adalah wajah cemas sejumlah anak muda termasuk Linus yang menunggu kedatangan sang dewa Umbu Landu Parangi didepan kantor mingguan Pelopor, hanya untuk mengetahui puisi siapa saja yang dimuat dalam mingguan itu.
     Pada mulanya, puisi Linus mirip dengan sajak Goenawan Mohamad atau Sapardi Djoko Damono: sangat liris dan imajinatif. Tapi, menurut Bakdi Sumanto, dosen Fakultas Sastra UGM, dalam perkembangannya Linus mulai menemukan gayanya sendiri, yakni ketika ia mulai mengeksplorasi latar belakang budaya Jawa. Hal inilah yang berkembang terus sehingga melekat menjadi ciri khas Linus, yang kemudian diimbuhi dengan kekuatan liriknya. Maka, lahirlah buku kumpulan puisi maupun prosa yang sangat bercorak Jawa, semisal Langit Kelabu, Perkutut Manggung, Rumah Panggung, Regol Megal-megol, dan Tirta Kamandanu. Karyanya yang dipublikasikan paling akhir dan belum selesai adalah Dewi Anjani, yang dimuat jurnal Kalam.
        Masalah intervensi kosakata Jawa dalam karya Linus dipersoalkan pembaca, seolah Linus tidak mampu berbahasa Indonesia. Begitu banyak kosakata Jawa yang berloncatan dalam karyanya sehingga memaksa penerbit melampirkan kamus kecil Jawa-Indonesia pada sejumlah buku Linus. Tapi, bagi Sapardi, bahasa sastra ala Linus itu sah karena kultur seperti itu memang ada dalam kenyataan sehari hari. Apalagi, katanya, Bahasa Indonesia itu kan sangat beragam. Yang penting adalah kejujuran Linus menggunakan bahasa yang betul-betul milik dia, ujar Sapardi.
     Linus tidak cuma mampu membuat syair, tapi juga dikenal sebagai kritikus sastra lewat tulisannya diberbagai media massa yang kemudian dibukukan, yakni Di Balik Sejumlah Nama. Meski kritik sastra Linus dianggap tidak akademis, menurut Profesor A. Teeuw, pengamat sastra Indonesia yang memberi tulisan pengantar pada buku itu, kritik sastra Linus mengandung daya pengamatan yang orisinal, pemahaman yang tajam, pengalaman membaca yang luas, dan daya cipta yang sehat dan kuat.
         Kini khazanah sastra Indonesia kehilangan kontributornya yang paling bersemangat menggauli sastra dari pucuk hingga akarnya. Entah apakah masih ada seorang juri lomba penulisan puisi yang mau menyempatkan diri menyurati peserta yang dianggap potensial hanya sekadar memberi dorongan untuk mengembangkan diri. Dan mungkin hanya Linus yang bersedia melakukan itu.

Berikut ringkasan cerita prosa lirik Pengakuan Pariyem:
    
     Itu adalah sepenggal prosa pembuka buku ini. Ya buku ini bertutur tentang Pariyem seorang wanita Jawa, dari desa yang bekerja sebagai 'babu' di kota besar Yogyakarta. Laiknya seorang babu, kehidupan Pariyem dipenuhi dengan pengabdian terhadap tuannya. Pariyem sosok yg digambarkan lugu, sabar dan nrimo adalah potret wanita Jawa pada umumnya.
        Masa kecil Pariyem boleh dibilang bahagia, bapaknya seorang pemain ketoprak dan simboknya sindhen wayang kulit. Ia kerap mengikut ibunya manggung, duduk manis dibelakang dalang. Setelah dewasa ia ngenger di rumah KRT. Cokro Sentono diDalem Suryomentaraman, Ngayogyakarta sebagai babu.
Istri Ndoro Kanjeng, RA. Cahya Wulaningsih biasa dipanggil nDoro Ayu, seorang yg ayu, luwes, halus tutur katanya, teduh pandangannya serta memiliki jiwa yg luhur dan mulia. Mereka mempunyai 2 orang putra, laki-laki dan perempuan. Yg laki-laki bernama RB. Aryo Atmojo, seorang mahasiswa kuliah di UGM jurusan filsafat. Yg perempuan bernama RA. Wiwit Setyowati, kuliah di Sarjana Wiyata dan sore harinya ngajar beksan di nDalem Pendopo Taman Siswa.
Pariyem betah dan krasan kerja disana, karena keluarga nDoro kanjeng tidak pernah membeda-bedakan status. Hingga pada suatu hari Pariyem dan Den Bagus Ario melakukan hubungan yg tidak seharusnya dilakukan. Pariyem pasrah dan tak kuasa menolak, malah ia menikmati dan menghayati perannya. Toh ia sudah tak perawan lagi, sudah ia berikan kepada Kliwon di sebuah gubuk kecil sepulang nonton wayang. Jadi saat Den Aryo menginginkannya, Pariyem lilo dan nrimo. Nilai-nilai luhur wanita Jawa sudah ia lupakan, harga diri dan kehormatan sudah tak tersisa.
Masalahpun muncul saat tiga bulan kemudian Den Ayu Wiwit menemukan Pariyem muntah-muntah. Malam harinya diadakan pertemuan keluarga dan semuanya setuju Pariyem dikembalikan ke rumahnya hingga melahirkan. Setelah melahirkan ia boleh kembali bekerja di nDalem Suryomentaraman. Semua kebutuhan dan biaya hidup sang bayi akan dipenuhi nDoro Kanjeng. Sekali lagi Pariyem harus pasrah saat tak ada pernikahan, tak ada upacara resmi, dan gendhing Kebo Giro.

Ya, Pariyem saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
“Iyem” panggilan sehari-harinya
di Wonosari Gunung Kidul
Tata lahirnya, saya hanya babu

tapi batinnya, saya selir baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar